Informasi lengkap, silakan >>
Baiturrahman, 20 Oktober 2025
Oleh: Fahry Raisu
Di sekolah, kita didoktrin bahwa membuat kesalahan adalah sebuah kegagalan. Jawaban yang salah dicoret, nilai berkurang, dan kita "di-brainwash" untuk menghindari kesalahan sebisa mungkin. Pola pikir ini menciptakan generasi yang takut mengambil risiko dan mencoba hal baru.
Namun, realitanya di dunia profesional sangat berbeda. Kesalahan adalah bagian tak terpisahkan dari proses belajar, inovasi, dan pertumbuhan. Tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. Justru, dari kesalahan itulah pelajaran paling berharga didapatkan. Keterampilan yang sesungguhnya bukanlah kemampuan untuk menjadi sempurna dan anti-gagal.
"Kalian boleh tanya deh ke orang-orang yang udah tua, yang udah sukses, no matter what, kalian ga bakal bisa menghindari yang namanya kesalahan. Skill paling penting yang harus kalian punya adalah untuk bangkit kembali dari melakukan kesalahan."
Mengubah cara pandang terhadap kesalahan adalah langkah pertama menuju ketangguhan (resilience). Alih-alih hanya takut salah, mulailah menerapkan kerangka untuk belajar darinya: akui kesalahanmu, analisa mengapa itu terjadi, tanyakan pada diri sendiri pertanyaan sulit tentang peranmu dalam kegagalan itu, dan terapkan pelajaran tersebut agar tidak terulang kembali. Dengan begitu, setiap kesalahan menjadi investasi untuk kesuksesan di masa depan.
Di era digital, argumen bahwa ijazah adalah segalanya sudah tidak relevan. Dunia kerja kini lebih menghargai kemampuan yang bisa dibuktikan daripada selembar kertas. Hard skill seperti coding, desain grafis, atau digital marketing memang penting dan sangat dibutuhkan. Namun, ada ribuan orang lain yang juga memiliki kemampuan teknis yang sama.
Pembeda utamanya terletak pada soft skill: kemampuan komunikasi, berpikir kritis, adaptabilitas, dan pemecahan masalah. Contohnya, bisa ngoding dengan hebat, tapi kalau enggak bisa komunikasi ide, siapa yang mau kerja bareng kamu? Di sinilah soft skill menjadi pembeda yang sesungguhnya.
"di era digital skill adalah mata uang dan kamu punya kendali penuh buat nentuin kamu mau punya berapa banyak."
Kisah nyata seperti ada seseorang yang belajar desain dari HP hingga mendapat klien luar negeri, atau ada juga yang belajar edit video dari YouTube hingga menjadi editor konten profesional, membuktikan bahwa akses untuk menguasai skill ada di tanganmu. Bukan lagi soal di mana kamu sekolah, tapi seberapa besar kemauanmu untuk terus belajar dan berlatih.
Sering mendengar kalimat seperti, "Ah, aku mah emang enggak bisaan orangnya" atau "Aku emang gini orangnya"? Ini adalah ciri dari fixed mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan adalah bakat bawaan yang tidak bisa diubah. Pola pikir ini secara tidak sadar membatasi potensimu dan membuatmu berhenti mencoba sebelum memulai.
Lawan dari pola pikir ini adalah growth mindset, yang dibangun di atas satu frasa sederhana namun kuat: "belum bisa". Ketika kamu mengganti kata "tidak bisa" dengan "belum bisa", otakmu secara otomatis akan merespon dengan pertanyaan, "Apa yang harus aku lakukan agar bisa?". Perubahan kecil ini membuka jalan untuk mencari solusi, belajar, dan terus berkembang.
Pola pikir 'belum bisa' inilah yang menjadi bahan bakar utama dari learning agility—kemampuan dan kecepatan untuk mempelajari hal baru. Tanpa keyakinan bahwa kemampuan bisa diasah, tidak akan ada kemauan untuk belajar hal baru dengan cepat, sebuah kemampuan yang paling menentukan di era ini. Bakat bawaan mungkin memberimu awalan yang baik, tapi growth mindset adalah yang akan membuatmu tetap relevan dalam jangka panjang.
Tentang pola pikir ini pernah kita bahas pada artikel sebelumnya, kamu bisa baca di sini : Pola Pikir Bertumbuh.
Sekolah melatih kita untuk berpikir rasional—mengerjakan soal matematika, menghafal sejarah, dan menganalisis biologi. Namun, kehidupan nyata dipenuhi oleh interaksi sosial dan keputusan yang dipengaruhi emosi. Inilah mengapa Kecerdasan Emosional (EQ) kini dianggap lebih penting daripada IQ dalam menentukan kesuksesan seseorang.
EQ adalah kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan memahami emosi orang lain. Fondasinya terletak pada dua komponen internal utama:
Self-Awareness (Kesadaran Diri): Kemampuan untuk sadar diri dan mengenali pemicu emosimu. Kamu harus, dalam bahasa Raymond Chin, 'mulai tau hal-hal yang bikin kita ke-trigger'—apa yang membuatmu marah atau sedih, dan mengapa.
Self-Management (Manajemen Diri): Kemampuan untuk mengelola perasaan tersebut setelah kamu menyadarinya. Ini bukan berarti menekan emosi, melainkan mengakuinya. Seperti yang ditekankan Chin, 'lu mengakui bahwa lu marah... Kalo ga, gimana caranya lu bisa manage perasaan itu?' Dengan mengakuinya, barulah kamu bisa mulai mengendalikannya.
Dua komponen ini—kesadaran diri dan manajemen diri—adalah fondasi internal. Setelah menguasainya, barulah kita bisa membangun kemampuan eksternal seperti kepekaan sosial (social awareness) dan manajemen relasi (relationship management) yang menentukan kesuksesan dalam berinteraksi.
Sebelum berpikir untuk menginvestasikan uang pada saham, kripto, atau aset finansial lainnya, ada satu investasi yang jauh lebih fundamental dan wajib dilakukan: investasi pada diri sendiri.
Investasi pada diri sendiri berarti menggunakan sumber daya yang kamu miliki, baik waktu maupun uang, untuk meningkatkan kualitas dirimu. Ini bisa berupa membaca buku, mengikuti kursus online, mendengarkan podcast edukatif, ikut workshop, atau bahkan mencari mentor. Logikanya sederhana: "semakin banyak waktu dan usaha yang kamu investasikan ke diri sendiri semakin banyak profit atau keuntungan yang bisa didapatkan."
Pengetahuan dan keterampilan yang kamu peroleh dari investasi ini adalah aset yang tidak akan pernah bisa diambil darimu. Aset inilah yang akan menjadi fondasi untuk menghasilkan kesuksesan finansial dan bentuk kesuksesan lainnya di masa depan.
Kesuksesan di dunia modern tidak lagi didefinisikan oleh nilai rapor atau gelar akademis semata, melainkan oleh seperangkat keterampilan dan pola pikir yang harus kamu pelajari secara mandiri di luar sistem pendidikan formal. Sekolah memang memberikan fondasi, tetapi tanggung jawab untuk membangun gedung kesuksesanmu sepenuhnya ada di tanganmu melalui proses belajar seumur hidup.
Sekolah memberimu peta, tapi kamulah yang harus menyetir dan menjelajahi medannya. Pertanyaannya bukan lagi “apa yang diajarkan?” tapi “apa yang akan kamu pelajari hari ini?”
Dan menariknya, Pondok Pesantren Baiturrahman—melalui SMP dan SMA Terpadu-nya—telah lebih dulu menjawab tantangan besar ini.
Di saat banyak sekolah masih terjebak pada pola belajar konvensional, Baiturrahman membangun ekosistem pendidikan yang menyeimbangkan ilmu, karakter, dan keterampilan hidup.
Di sinilah para santri tidak hanya belajar menghafal ayat dan rumus, tapi juga belajar berpikir kritis, beradaptasi, mengelola emosi, memimpin, dan bertanggung jawab.
Program pembiasaan akhlakul karimah, pelatihan kepemimpinan, kegiatan proyek sosial, hingga pembelajaran berbasis teknologi menjadi bukti nyata bahwa kurikulum kehidupan sudah diintegrasikan secara utuh.
Karena di Baiturrahman, belajar bukan sekadar menyiapkan ujian sekolah—melainkan menyiapkan kehidupan.
Sebab dunia luar tak menanyakan berapa nilaimu, tapi siapa dirimu dan apa kontribusimu.