Informasi lengkap, silakan >>
Baiturrahman, 16 Oktober 2025
Oleh: Fahry Raisu
Banyak yang beranggapan bahwa kunci kesuksesan adalah keterampilan teknis dan kecerdasan. Namun, di balik semua pencapaian, ada fondasi yang sering terlupakan: pola pikir. Tanpa pola pikir yang tepat, keterampilan secanggih apa pun tidak akan digunakan secara optimal.
Pola pikir adalah fondasi yang menentukan bagaimana seseorang menghadapi tantangan, kegagalan, dan peluang untuk berkembang. Metafora terbaik untuk ini adalah pohon. Jika keterampilan adalah pohon itu sendiri, maka pola pikir adalah akarnya. Tanpa akar yang sehat dan kuat, pohon tidak akan pernah bisa tumbuh tinggi dan kokoh.
Banyak orang mengira bahwa keterampilan dan kecerdasan adalah segalanya dalam kesuksesan belajar. Namun, kenyataannya pola pikir berada di hulu dari semua itu. Pola pikir adalah akar yang menumbuhkan pohon keterampilan.
Kebenaran ini sangat kuat karena mengalihkan fokus kita. Kesuksesan bukan lagi tentang apa yang kita miliki sejak lahir (bakat), tetapi tentang apa yang bisa kita kultivasikan secara sadar (pola pikir).
Sebuah fakta yang mengejutkan datang dari studi PISA 2018. Hasilnya menunjukkan bahwa dari seluruh responden pelajar di Indonesia, hanya 29% yang menunjukkan indikasi memiliki growth mindset. Artinya, mayoritas besar masih terjebak dalam fixed mindset.
Apa implikasinya? Ini berarti sebagian besar pelajar kita cenderung meyakini bahwa kecerdasan mereka statis. Akibatnya, mereka lebih mungkin untuk menghindari tantangan karena takut gagal, lebih mudah menyerah saat menghadapi kesulitan, dan melihat kegagalan sebagai vonis akhir atas kemampuan mereka.
Studi yang sama juga menemukan bahwa pelajar dengan growth mindset cenderung memiliki pencapaian akademik yang lebih baik dan lebih tangguh. Fakta ini menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan untuk menumbuhkan pola pikir bertumbuh dalam sistem pendidikan dan kehidupan kita sehari-hari.
Transformasi dari pola pikir tetap ke pola pikir bertumbuh bisa dimulai dari perubahan yang sangat kecil namun luar biasa kuat. Strategi ini dikenal sebagai The Power of Yet atau Kekuatan dari Kata "Belum".
Caranya sederhana: setiap kali Anda mendapati diri Anda mengatakan atau berpikir "Saya tidak bisa," tambahkan satu kata di akhirnya.
Dari: "Saya tidak bisa menyelesaikan soal ini."
Menjadi: "Saya belum bisa menyelesaikan soal ini."
Perubahan kecil ini mengubah segalanya. Kalimat pertama adalah sebuah pernyataan final yang menutup pintu kemungkinan. Sementara kalimat kedua mengubah pernyataan keterbatasan permanen menjadi status sementara. Kata "belum" membuka ruang untuk perbaikan, menyiratkan bahwa dengan usaha dan pembelajaran, kemampuan itu bisa diraih. Ia mengubah jalan buntu menjadi sebuah jalur untuk maju.
Secara intuitif, kita sering memuji orang lain dengan mengatakan, "Kamu memang pintar!" atau "Kamu berbakat sekali!". Namun, strategi ini justru bisa menjadi racun yang memperkuat fixed mindset. Pujian yang berfokus pada sifat bawaan membuat seseorang takut kehilangan label "pintar" tersebut, sehingga mereka cenderung menghindari tantangan yang berisiko membuat mereka tampak gagal.
Alternatif yang jauh lebih efektif adalah memuji proses, usaha, dan strategi yang digunakan. Pujian semacam ini memperkuat growth mindset karena menghubungkan keberhasilan dengan faktor-faktor yang bisa dikendalikan, seperti kerja keras dan ketekunan. Ini mengajarkan bahwa kesuksesan adalah buah dari usaha, bukan sekadar bakat.
Pujian yang berfokus pada proses, usaha, strategi, dan ketekunan—seperti “Aku suka cara kamu terus mencoba meski tadi kesulitan”—akan memperkuat pola pikir bertumbuh.
Dalam fixed mindset, kegagalan adalah bukti ketidakmampuan. Hal ini menimbulkan rasa malu dan membuat seseorang berhenti mencoba. Sebaliknya, dalam growth mindset, kesalahan dan kegagalan dipandang sebagai bagian yang wajar dan penting dari proses belajar.
Konsep productive failure (kegagalan yang produktif) menekankan bahwa kegagalan, jika disertai dengan refleksi, dapat menjadi pengalaman belajar yang sangat kuat. Ia adalah "masukan untuk perbaikan."
Perbedaan ini sangat nyata. Ketika seorang murid gagal dalam ujian, pola pikir tetap akan membuatnya merasa putus asa dan malu, mungkin sambil menyimpulkan bahwa dirinya memang bodoh. Sebaliknya, pola pikir bertumbuh akan mendorongnya untuk bertanya, “Apa yang bisa aku perbaiki? Bagaimana aku belajar lebih baik lain kali?” Kegagalan tidak lagi dilihat sebagai vonis, melainkan sebagai data berharga untuk pertumbuhan di masa depan.