Informasi lengkap, silakan >>
Baiturrahman, 11 Oktober 2025
Oleh: Fahry Raisu
Ayat ini mengajarkan adab spiritual yang sangat halus: setiap amal hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah.
Menurut Ibnu Katsir, lafaz “Bismillah” adalah bentuk permohonan keberkahan dan perlindungan, agar setiap langkah manusia terarah hanya untuk-Nya.
Sementara dua nama Allah — Ar-Rahman dan Ar-Rahim — menggambarkan kasih sayang yang luas tak terhingga. Ar-Rahman adalah kasih yang menyentuh seluruh makhluk di dunia ini, sedangkan Ar-Rahim adalah kasih khusus yang akan dirasakan oleh orang-orang beriman di akhirat.
Dari sini kita belajar bahwa agama dimulai dengan kasih sayang, bukan ketakutan.
Setiap pujian sejati sesungguhnya kembali kepada Allah, sebab hanya Dia yang menciptakan, memelihara, dan mengatur seluruh alam.
Kata “Rabb” dalam bahasa Arab bukan sekadar berarti “Tuhan”, tetapi juga Pemelihara, Pendidik, dan Pengasuh makhluk.
At-Tabari menafsirkan ayat ini sebagai ajakan untuk mensyukuri segala nikmat, baik yang tampak maupun tersembunyi.
Maka seorang mukmin, ketika membaca ayat ini, seakan berkata:
“Ya Allah, segala yang baik dalam hidupku hanyalah karena Engkau.”
Pengulangan dua nama ini setelah sebelumnya disebut dalam Bismillah bukanlah kebetulan.
Menurut Fakhruddin Ar-Razi, hal ini menegaskan bahwa seluruh urusan Allah terhadap makhluk-Nya berlandaskan rahmat dan kasih sayang.
Tidak ada keputusan Allah yang berdasar pada kebencian, melainkan pada kebijaksanaan dan cinta yang dalam.
Ayat ini menggugah kesadaran spiritual manusia: suatu hari nanti, setiap amal akan diadili dengan seadil-adilnya.
Allah adalah Malik (Raja dan Pemilik) hari di mana tidak ada kekuasaan selain milik-Nya.
Ibnu Katsir menyebut, ayat ini menanamkan dalam diri seorang mukmin dua perasaan sekaligus:
Rasa takut (khauf) akan keadilan Allah,
Rasa harap (raja’) akan kasih dan ampunan-Nya.
Kesadaran akan hari pembalasan menjadikan hidup seorang Muslim terarah, berhati-hati, dan penuh makna.
Inilah inti dari seluruh ajaran Islam — tauhid ibadah.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan yang indah antara ketundukan dan ketergantungan.
Kita menyembah Allah sebagai bentuk cinta dan pengabdian, sekaligus menyadari bahwa tanpa pertolongan-Nya, kita tak mampu melakukan apa pun.
Menariknya, ayat ini menggunakan kata “kami” bukan “aku”.
Hal ini, menurut Al-Qurthubi, menunjukkan bahwa ibadah sejati selalu dilakukan dalam kebersamaan umat, bukan dalam kesendirian yang egois.
Setiap hari kita membaca ayat ini — memohon hidayah kepada Allah.
Meskipun kita sudah beriman, hidayah bukanlah sesuatu yang statis; ia harus dijaga dan diperbarui setiap saat.
As-Sa‘di menjelaskan bahwa “jalan yang lurus” adalah Islam yang murni, yang berlandaskan ilmu, amal, dan ikhlas.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa manusia tanpa petunjuk Allah ibarat kapal tanpa kompas di tengah lautan dunia.
Allah menegaskan bahwa jalan lurus itu adalah jalan orang-orang yang diberi nikmat: para nabi, orang jujur, para syuhada, dan orang saleh.
Sementara itu, ada dua golongan yang harus dihindari:
Al-maghdhub ‘alayhim – mereka yang mengetahui kebenaran tapi menolaknya (contohnya kaum Yahudi).
Adh-dhāllīn – mereka yang beramal tanpa ilmu, tersesat dalam kebodohan (contohnya kaum Nasrani).
Namun makna yang lebih luas, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, adalah setiap orang yang berpaling dari kebenaran, baik karena kesombongan maupun karena kelalaian.
Surat Al-Fatihah menggambarkan seluruh perjalanan ruhani seorang mukmin:
Dimulai dengan mengenal Allah dan kasih sayang-Nya,
Lalu bersyukur dan tunduk kepada-Nya,
Disertai kesadaran akan hari akhir,
Hingga akhirnya memohon bimbingan agar tetap di jalan lurus.
Setiap kali kita membaca Al-Fatihah dalam salat, sesungguhnya kita sedang berdialog langsung dengan Allah.
Dalam sebuah hadis qudsi (HR. Muslim), Allah berfirman:
“Aku telah membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta...”