Informasi lengkap, silakan >>
Baiturrahman, 17 Oktober 2025
Oleh: Fahry Raisu
Terdengar paradoks, namun semakin majunya teknologi AI, semakin krusial pula peran keterampilan lunak (soft skill) manusia. Jauh dari menggantikan manusia sepenuhnya, AI justru menggarisbawahi pentingnya keahlian yang tidak bisa diotomatisasi. Keterampilan seperti komunikasi, berpikir kritis, kreativitas, dan kerja tim (teamwork) menjadi pembeda utama di era digital.
Faktanya, manfaat AI sangat bergantung pada kualitas keterampilan manusia yang menggunakannya. Institusi pendidikan harus menyelaraskan strategi mereka untuk secara sadar melatih soft skill ini, karena teknologi hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Seperti yang diungkapkan oleh Dale Carnegie:
Manfaat AI sangat bergantung pada kualitas keterampilan dan kemampuan manusia, serta sikap masyarakat terhadap AI.
Temuan dari ISACA juga memperkuat argumen ini, menyatakan bahwa soft skill bukan sekadar pelengkap, melainkan kunci utama untuk bernavigasi dalam lanskap digital yang semakin kompleks dan saling terhubung. Pada akhirnya, kemampuan untuk berkolaborasi, berempati, dan berkreasi adalah "benteng" terakhir yang tidak bisa sepenuhnya direplikasi oleh mesin, menjadikannya aset paling berharga dalam dunia kerja masa depan.
Kemudahan yang ditawarkan AI—mulai dari membuat soal hingga menganalisis nilai siswa—datang dengan risiko etis yang serius. Penggunaan AI tanpa pemahaman etika yang memadai dapat memicu plagiarisme, menumbuhkan ketergantungan siswa terhadap teknologi, dan mengaburkan batas antara bantuan dan kecurangan akademik.
Laporan UNESCO (2023) bahkan memperingatkan bahwa AI dapat memperkuat bias yang sudah ada, memperlebar kesenjangan akses, dan secara perlahan mengikis kemampuan berpikir kritis siswa. Tantangan ini menempatkan guru di posisi yang krusial.
Sebagai contoh konkret, mari kita lihat studi kasus "Guru dan Tugas Esai". Seorang guru menerima sebuah esai dengan tata bahasa sempurna dan argumen yang terstruktur rapi, namun ia tahu esai itu dibuat sepenuhnya oleh ChatGPT. Dilema pun muncul: Apakah tugas ini layak diberi nilai? Lebih penting lagi, apakah ada proses belajar yang terjadi pada siswa? Kasus ini mendorong para pendidik untuk menilai siswa secara lebih holistik, dengan mempertimbangkan proses, bukan hanya hasil akhir. Peran guru pun bergeser; mereka tidak lagi hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga seorang "pembimbing etika" di era digital.
Salah satu pilar utama pendidikan adalah menumbuhkan "pembelajaran mandiri" (self-regulated learning), yaitu sebuah sistem di mana pelajar secara proaktif mencapai tujuan akademik melalui pemikiran, perasaan, dan perbuatannya sendiri. Namun, kehadiran AI menciptakan sebuah ketegangan yang tak terduga.
Di satu sisi, AI memberikan kendali dan otomatisasi yang besar dalam proses belajar. Di sisi lain, kemudahan ini justru dapat menekan peluang siswa untuk mengembangkan keterampilan belajar mandiri. Ketika jawaban, rangkuman, dan solusi dapat dihasilkan secara instan, dorongan untuk berusaha, merencanakan, dan memantau proses belajar sendiri dapat berkurang. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan penting: Ketika anak-anak terbiasa dengan hal-hal otomatis, apakah mereka kehilangan kemampuan untuk mengontrol dan menavigasi proses belajar mereka sendiri?
Di sinilah peran guru dan orang tua menjadi sangat vital. Mereka harus membekali anak dengan kemampuan untuk menggunakan teknologi secara bijak dan efektif, memastikan bahwa AI menjadi alat untuk memperkaya pembelajaran, bukan pengganti proses berpikir mandiri.
Dilema etis yang dihadapi guru dalam kasus esai ChatGPT, seperti yang dibahas sebelumnya, mengarah pada satu kesimpulan yang tak terhindarkan: fokus penilaian harus bergeser dari hasil akhir ke proses berpikir. Dengan hadirnya alat seperti ChatGPT, metode penilaian tradisional tidak lagi memadai. Sebuah produk tulisan yang sempurna tidak lagi mencerminkan pemahaman, usaha, atau orisinalitas siswa.
Ini adalah panggilan bagi dunia pendidikan untuk merevolusi cara kita mengukur keberhasilan belajar. Sekolah perlu mendorong metode asesmen yang mampu menilai proses berpikir, pemahaman konseptual, dan orisinalitas ide. Ini bukan berarti melarang penggunaan AI, melainkan mengintegrasikannya secara cerdas sambil mengubah tolok ukur evaluasi. Penilaian bisa bergeser ke arah presentasi lisan, debat, proyek kolaboratif, atau portofolio yang menunjukkan perkembangan pemikiran siswa dari waktu ke waktu.
Pergeseran ini tentu menantang dan membutuhkan adaptasi dari para guru. Namun, langkah ini sangat penting untuk memastikan bahwa pendidikan tetap berpusat pada pengembangan manusia yang berintegritas dan mampu berpikir secara mandiri.